Peluang Usaha

Peluang Usaha
Bisnis Beras Organik Indonesia Peluang Usaha Nomer Satu

bisnis beras

bisnis beras
bisnis beras

Thursday, May 29, 2008

Ancaman Krisis Pangan di Depan Mata

Ancaman Krisis Pangan di Depan Mata

Peringatan terhadap ancaman krisis pangan ternyata bukan isapan jempol. Kondisinya kini benar-benar sudah di depan mata. Penyebabnya tidak lain adalah kenaikan harga produk pangan yang sulit terbendung sejak dua tahun lalu dan terus berlanjut hingga kini.

Ancaman krisis pangan dunia sebenarnya telah dikomunikasikan sejak 2006. Selama enam tahun berturut-turut konsumsi biji-bijian pangan dunia lebih besar dari pada produksi dunia. Bahkan pada 1999, stok pangan dunia masih dapat memenuhi kebutuhan selama 116 hari, tapi pada 2006 hanya tinggal 57 hari.

Dalam laporan Food and Agriculture Organitation (FAO) yang berjudul Growing Demand on Agriculture and Rising Prices of Commodities menunjukkan indeks harga pangan meningkat rata-rata 9% pada 2006 ketimbang tahun sebelumnya. Bahkan pada 2007 indeks harga pangan meningkat 23% dibandingkan 2006. Sementara dalam Food Outlook yang dikeluarkan FAO hingga 2017 diramalkan harga pangan akan terus meroket sejalan dengan lonjakan harga minyak mentah

Lonjakan tersebut dipicu oleh kenaikan harga minyak makan sebesar 50%, seperti harga crude palm oil (CPO) yang sudah menembus angka 1.200 dolar AS/ton Untuk komoditi padi-padian rata-rata naik 42%. Misalnya, harga jagung kini mencapai 500 dolar AS/ton dan cenderung bertambah naik sejak Desember 2007.

Begitu juga dengan komoditi gandum. Pada periode 2007/2008 diperkirakan produksinya hanya 604 juta ton ditambah stok periode sebelumnya sebanyak 125 juta ton, total pasokan menjadi sekitar 729 juta ton. Artinya dengan total kebutuhan gandum di seluruh dunia sebanyak 619 juta ton, stok akhir di pasar dunia hanya tinggal 110 juta ton.

Sedangkan harga beras yang menjadi makanan pokok bangsa Indonesia di pasar internasional juga naik hampir 50%. Contohnya, harga beras Thailand broken 10% yang tahun lalu masih 326 dolar AS/ton, tapi pada Maret 2008 sudah mencapai 543 dolar AS/ton. Harga beras Vietnam broken 25% juga melonjak sangat tinggi, tahun lalu masih 281 dolar AS/ton, kini sudah di atas 500 dolar AS/ton.

Hal yang sama terjadi pada komoditi kedelai. Akibat lahan untuk tanaman kedelai semakin berkurang karena petani beralih tanam jagung membuat harga kedelai di pasar internasional sempat menembus 1.250 dolar AS/ton. Di sisi lain, permintaan terhadap komoditi tersebut tetap tinggi untuk makanan ternak, biofuel dan makanan.

Satu-satunya produk pangan yang turun hanyalah gula yakni turun 32%. Hal ini karena produksi gula di negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi gula relatif stabil. Bahkan selama periode 2007/2008 diperkirakan produksi gula mencapai titik tertinggi.

Kenaikan harga pangan sehingga menjadi ancaman krisis pangan yang kini dirasakan berbagai negara dunia, termasuk juga Indonesia tidak lepas dari pengaruh perubahan di pasar global. Konversi produk pangan ke energi membuat harga pangan di pasar internasional terkerek naik.

Peningkatan harga produk pangan tersebut menyebabkan negara yang selama ini menjadi net importir bakal menanggung dampak yang cukup berat. Bahkan juga mempengaruhi kesejahteraan rakyat, karena devisa negara tersebut terbuang untuk mengimpor produk pangan. Bahkan negara-negara yang selama ini menjadi net importer baik untuk produk pangan dan energi akan mengalami situasi lose-lose situation.

Dalam laporan FAO yang berjudul Growing Demand on Agriculture and Rising Prices of Commodities juga menyebutkan, negara-negara berkembang secara keseluruhan akan merasakan kenaikan sebanyak 25% untuk biaya impor pangan dalam satu tahun. Kenaikan yang nyata untuk biaya impor pangan tersebut nilainya mencapai 745 miliar dolar AS pada 2007 atau naik 21% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Dalam laporan FAO tersebut Indonesia memang tidak termasuk dalam negara net importir. Negara yang masuk dalam daftar FAO itu adalah 18 negara di kawasan Afrika dan empat negara dari Asia yakni Bangladesh, Korea Utara, Kamboja dan Laos.

Meski FAO tidak memasukkan Indonesia sebagai negara yang rawan terhadap lonjakan harga pangan dunia yang menyebabkan krisis pangan. Tapi jika melihat volume impor komoditi pangan masih cukup tinggi, maka Indonesia tetap harus mewaspadai kemungkinan buruk terhadap lonjakan harga di pasar dunia. Tahun lalu Indonesia masih mengimpor kedelai sebanyak 1,3 juta ton, beras 1,5 juta ton, jagung sekitar 600 ribu-1 juta ton dan gandum sekitar 4-5 juta ton.

Sementara itu kemampuan pemerintah dalam mengendalikan lonjakan harga juga masih sangat lemah. Paket kebijakan pangan yang disampaikan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono justru lebih bersifat fiskal dan kapitalistik sehingga cenderung membuka pasar terhadap komoditi impor. Karena itu lonjakan harga komoditi pangan yang terjadi sulit dikendalikan pemerintah.

Ketidakmampuan pemerintah mengontrol harga pangan berujung dari lemahnya pemerintah dalam penyediaan stok pangan yang bisa diandalkan untuk menstabilkan harga. Pemerintah hanya menyiapkan stok beras saja yang berada di gudang Perum Bulog. Stok yang merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) jumlahnya pun hanya 350 ribu ton. Sangat minim, jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 227 juta jiwa. Padahal hasil kajian menyebutkan, pemerintah harus mempunyai stok beras minimal 1 hingga 1,5 juta ton.

Sedangkan pengadaan gabah/beras Bulog yang pada tahun ini ditargetkan 2,43 hingga 2,8 juta ton beras akan digunakan untuk penyaluran untuk masyarakat miskin (raskin). Jumlah tersebut akan diberikan kepada 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) dengan jumlah 15 kg/RTM/bulan.

Daya beli rendah

Persoalan ketahanan pangan sebenarnya tidak sekedar ketersediaan pangan, melainkan juga soal keterjangkauan dan kemampuan masyarakat membeli produk pangan. Masyarakat kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Daya beli masyarakat yang sudah rendah semakin terpukul dengan pergerakan harga pangan pokok.

Padahal jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Dengan 19,1 juta RTM, diperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa. Sedangkan yang sangat rawan pangan sebanyak 5,71 juta jiwa.

Karena itu pemerintah harus membuat perencanaan yang jelas, terukur dan terarah dalam mengatasi persoalan krisis pangan. Apalagi ketahanan pangan bukan sebatas dimensi ekonomi semata, tetapi juga merupakan bagian dari ketahanan sosial politik bangsa. Jika pemerintah tidak mampu membuat strategi yang jitu, maka taruhannya adalah kerawanan pangan yang semakin meluas. Saat ini saja ada 100 kabupaten yang rawan pangan.

Salah satu yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah upaya peningkatan produksi pangan, khususnya beras yang menjadi makanan pokok bangsa Indonesia. Tidak kalah penting lagi adalah penguatan stok pangan yang dimiliki pemerintah. Misalnya dengan memanfaatkan seoptimal mungkin lembaga yang selama ini bertugas menjadi penyedia stok pangan nasional.

Namun mendongkrak produksi padi juga tidak mudah karena harus berkejar-kejaran dengan laju pertambahan penduduk dan tingginya tingkat konsumsi beras masyarakat yang mencapai 139,15 kg/kapita/tahun. Data Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, konsumsi pangan sumber energi masih didominasi oleh kelompok padi-padian terutama beras yaitu di atas 60% dari angka kecukupan gizi (AKG). Konsumsi padi-padian pada 2007 mencapai 317 gram (1.244 kalori/orang/hari). Padahal anjurannya hanya 275 gram (1.000 kalori/orang/hari) atau 50% dari AKG.

Persoalan ketersediaan pangan juga semakin sulit dengan tingginya persaingan pemanfaatan sumberdaya lahan yang semakin ketat. Contohnya untuk penyediaan pangan harus berhadapan pada kapasitas produksi yang terbatas karena laju konversi lahan pertanian ke non pertanian terus meningkat, menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat kerusakan lingkungan dan semakin tidak pasti penyediaan air.

Meski banyak kendala dalam penyediaan pangan untuk rakyat, pemerintah harus tetap menjamin seluruh kebutuhan primer masyarakat, terutama soal pangan. Yang lebih penting lagi bagaimana meningkatkan daya beli sehingga masyarakat mudah mengakses ketersediaan pangan. Apa artinya swasembada pangan, jika daya beli masyarakat tetap lemah.

Karena itu ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis yang hukumnya wajib diperhatikan penguasa. Ketahanan pangan yang tangguh juga harus didukung dengan kekuatan politik karena menjadi bagian dari kekuatan negara untuk menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Saat ini, isu pangan menjadi alat politik bangsa-bangsa barat guna mempengaruhi situasi politik suatu negara.

Pemerintahan dalam Daulah Islam tidak akan membiarkan masyarakatnya kelaparan. Masih ingat kisah Khalifah Umar bin Khattab yang harus memanggul sekarung bahan makanan ke salah satu keluarga miskin? Bagi setiap kaum Muslimin, kisah ini sangatlah kesohor dan familiar di telinga.

Dalam kisah tersebut, bagaimana seorang kepala negara dengan rela mengangkat sekarung bahan makanan dari gudang ke rumah seorang ibu yang mengeluh karena pemerintah tidak pernah memperhatikan kesejahteraan rakyat. Akibat ketidakmampuan membeli makanan, ibu tersebut terpaksa mamasak batu untuk menenangkan anaknya yang meminta makanan.

Sebagai tanggungjawabnya terhadap rakyatnya, Khalifah Umar dengan rela mengangkat sendiri sekarung bahan makanan untuk diberikan kepada Ibu tersebut. Bahkan pengawalnya, tidak diijinkan ketika akan membantu.

Kisah tersebut membuktikan, bahwa pemimpin mempunyai tanggungjawab besar terhadap kebutuhan pokok masyarakat. Dalam syariat Islam, negara lah yang bertanggung jawab dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer kepada rakyat. Bahkan Rasulullah pernah mengatakan, “Seorang imam (pemimpin) bagaikan pengembala.

Sumber : gudangopini.wordpress.com

Bisnis Beras Organik Indonesia Peluang Usaha Nomer Satu 021-73888872

No comments:

Bisnis Beras Organik

Bisnis Beras Organik
Bisnis Beras Organik

organik indonesia

organik indonesia
organic indonesia